Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi
peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan
efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra
sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah
(Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta
prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program
pendidikan di satuan pendidikan.
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi
transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Adapun fungsi Komite Sekolah, sebagai berikut:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan
dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi,
ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Peran Komite
Sekolah. Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai berikut :
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency)
dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency), baik
yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan
di satuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan
di satuan pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif)
dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Depdiknas
dalam bukunya Partisipasi Masyarakat, menguraikan tujuh peran Komite Sekolah
terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:
1. Membantu meningkatkan kelancaran
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di sekolah baik sarana, prasarana
maupun teknis pendidikan.
2. Melakukan pembinaan sikap dan perilaku
siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan
pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi sejak
dini (kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan pendahuluan bela negara,
kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan
kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta
apresiasi seni dan budaya.
3. Mencari sumber pendanaan untuk membantu
siswa yang tidak mampu.
4. Melakukan penilaian sekolah untuk
pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra maupun ekstrakurikuler dan
pelaksanaan manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa, dan
karyawan.
5. Memberikan penghargaan atas
keberhasilan manajemen sekolah.
6. Melakukan pembahasan tentang usulan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
7. Meminta sekolah agar mengadakan
pertemuan untuk kepentingan tertentu (Depdiknas, 2001:17).
Mutu dalam
konteks "hasil" pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil
pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis,
dapat pula prestasi bidang lain seperti olah raga, seni atau keterampilan
tertentu (komputer, beragam jenis teknik, jasa). Bahkan prestasi sekolah dapat
berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin,
keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Peran Komite
Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan perlu mendapat dukungan dari seluruh
komponen pendidikan, baik guru, Kepala Sekolah, siswa, orang tua/wali murid,
masyarakat, dan institusi pendidikan. Oleh karena itu perlu kerjasama dan
koordinasi yang erat di antara komponen pendidikan tersebut sehingga upaya
peningkatan mutu pendidikan yang dilaksanakan dapat efektif dan efisien.
Permasalahan pada komite sekolah
antara lain;
* Masalah
Pamahaman. Pemahaman tentang komite sekolah sangat beragam, tentang perannya
belum sepenuhnya di pahami apalagi menjalankan peran tersebut secara maksimal.
Proses pembentukannya pun mungkin belum berdasarkan acuan yang ada.
Keterwakilannya dalam susunan anggota komite juga belum meluas (belum
mengikutsertakan dunia usaha ataupun dunia industri) disekitarnya. Disamping
itu masih langka keterwakilan perempuan dalam komite. Yang sangat fatal lagi
Komite Sekolah belum/tidak mempunyai anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Komite.
* Masalah
Budaya yang dimaksudkan disini adalah cara berfikir serta bertindak masyarakat
terhadap sekolah. Pola pikir mereka kebanyakan menganggap sekolah sebagai
lembaga jasa dan masyarakat sebagai konsumen. Sekolah jual lulusan, masyarakat
membayar. Pola pikir lainnya adalah sekolah bagi anak-anak adalah pilihan masa
depan. Dengan demikian masyarakat yang mampu, menyekolahkan anaknya disekolah
yang berkualitas. Apalagi jika anaknya mempunyai prestasi. Bagaimana dengan
masyarakat yang miskin, jelas sekolah bukan menjadi prioritas yang utama,
sekolah bukan merupakan tanggung jawabnya sehingga sekolah mempunyai urutan
prioritas dibawah kebutuhan utama (makan, papan, sandang). Pola pikir terhadap
sekolah masih terbatas pada dukungan dana semata (sangat minim di daerah
tertinggal). Perubahan budaya ini dperlukan proses yang sangat panjang agar
tuntutan peran komite sekolah ini dapat optimal.
* Masalah
Pembinaan Komite sekolah yang merupakan lembaga representatif masyarakat untuk
sekolah sudah lama ada semenjak adanya BP3, POMG, yang terakhir adalah Komite Sekolah.
Sampai saat ini lembaga tersebut, belum dapat berfungsi dengan baik.
* Masalah
Sosial Ekonomi. Belum optimalnya peran komite sekolah disebabkan juga oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Segala upaya yang dilakukan oleh
masyarakat masih difokuskan mencari jalan keluar (solusi) ekonomi rumah tangga,
sehingga walaupun terlibat dalam kepengurusan komite, partisipasinya belumlah
optimal (besar) dianggap sebagai beban sampingan, apalagi didalam komite
bersifat sukarelawan. Masalah kemiskinan itu sendiri sudah menyulitkan mereka
untuk terlihat dalam komite sekolah dan sekolah juga menanggung akibatnya
(beban) karena berbagai ide untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
prasarana sekolah menjadi lamban.
Seperti
dikemukakan diatas bahwa pemahaman komite sekolah juga diakibatkan dari
pembentukan pengurusnya yang belum sesuai dengan aturan yang berlaku, belum
mengikuti tujuh langkah baku pembentukan komite sekolah, prinsip-prinsip
pembentukannya belum diterapkan. Untuk menyegarkan kembali ingatan kita bahwa prinsip-prinsip
tersebut adalah;
1. Transparan berarti pembentukan Komite
Sekolah dilakukan secara terbuka, diketahui oleh masyarakat lingkungan sekolah
mulai dari tahap persiapan, pembentukan panitia kriteria calon, pengumuman
calon, proses pemilihan sampai dengan penyampaian hasil pemilihan kepada
masyarakat.
2. Akuntabel dalam arti pembentukan Komite
Sekolah yang dilakukan oleh panitia pelaksana dapat dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat baik secara substansi maupun secara financial.
3. Demokratis berarti pembentukan Komite
Sekolah dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat khususnya masyarakat
lingkungan sekolah, baik secara musyawarah mufakat maupun melalui pemungutan
suara.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !